Apa tujuanku menikah? Salah satunya, biar bisa serumah sama
Hyung, tanpa takut digrebek Pak RT dan warga kampung. Tapi, memutuskan menikah
kan nggak semudah itu ya? Ya kali kayak nonton drakor apa telenovela, tabrakan
doang udah yakin beud kalau itu jodoh sampai maut memisahkan.
Pas SMP, karena keseringan baca shoujo manga dan nonton
drakor, aku pingin banget nikah di umur 18 tahun. Pas SMA, keinginan itu aku batalkan,
soalnya pingin kuliah dulu, apalagi kehidupan perkuliahan kayaknya lebih seru
ketimbang SMA. Yaudah, ntar nikahnya abis lulus kuliah aja.
Eh.. pas mau lulus kuliah, tau-tau otakku kayak kritis menanggapi
urusan pernikahan. Dia nanya mulu, nanyain hal-hal yang bikin aku mikir lagi
dan lagi.
“Yakin kamu langsung nikah habis lulus kuliah?”
“Yakin nggak mau explore hal-hal seru? Mumpung habis kuliah
udah kerja dan punya duit sendiri loh..”
Dan berikut pertanyaan yang paling krusial.
“Apakah menikah adalah inginmu, Pit? Apakah menikah adalah
salah satu life purposes mu? Jangan sampai kamu sok-sok pingin nikah karena
sebenernya kamu tertekan dengan keadaan lingkunganmu, padahal bukan itu maumu.”
Galaunya sampai hampir dua tahun gara-gara mempertanyakan
itu berkali-kali ke diriku sendiri, dan saat usia 26 ke 27, aku mantep bilang
ke diriku, marriage is not my life purpose, with or without marriage, I’m an established
and a complete woman.
Memandang pernikahan jadi beda. Melihatnya tuh udah nggak
kayak cerita drakor, manga, atau kehidupan princess yang skenarionya selalu happily ever after.
Menikah berarti siap untuk membuka pintu gerbang masalah baru.
Jadi ketika Hyung datang dan kami memulai relasi sebagai
partner, aku langsung ngajak diskusi buat memastikan ekspektasi dari hubungan
kami disusul boundaries yang kami sepakati.
Ekspektasi hubungan kami adalah pernikahan, namun hal ini
bisa terjadi apabila tahap screening yang kami lakukan menuju mufakat.
Salah satu tahap screening adalah diskusi terkait value. Aku
punya 6 topik diskusi penting dengan Hyung disertai persyaratan. Jadi syaratnya
seperti ini, aku akan memberikan 3 kali kesempatan pada Hyung, apabila saat menuju
diskusi Hyung menolak, tidak bisa menjawab, atau jawabannya tidak memuaskan,
maka lebih baik kami berteman saja.
Kejam ya? I’m being realistic dan Hyung sepakat juga
(walaupun dia sempet kaget), karena kami sadar, perbedaan value bisa jadi
sumber konflik yang nggak akan selesai. Kecuali ada yang “mengalah”.
6 topik diskusi berikut aku dapat dari pembahasan psikolog
dan beberapa influencer yang membahas healthy relationship.
KEUANGAN
You’re such a gold digger, masak awal hubungan udah
ngomongin uang?
I told you, I’m being realistic. Data dari BPS menyebutkan
bahwa salah satu faktor perceraian yang persentasenya gedhe adalah ekonomi. Dan
jujur, aku ingin sepaham dengan partner-ku terkait keuangan kami di masa depan.
Sekalian mencocokan habit kami, how we spend our money. Karena kata Mbak Terry
Perdanawati, duit itu semacam racun pembunuh pernikahan secara diam-diam.
Jadi pas diskusi sama Hyung, aku ingin kami terbuka dan
berdiskusi soal pendapatan, ekspektasi dan rencana kedepan, gaya hidup dan
hobi, tanggungan, dan yang terakhir tabungan dan hutang.
SEKS
Nggak dapet pendidikan seks yang proper, suka bikin kita
warga +62 rada ngadi-ngadi soal topik ini. Katanya sih tabu, dosa!
Di aku pribadi, setelah membuka diri untuk belajar
pendidikan seks, rasanya lebih open dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang
bisa terjadi apabila hal ini tidak didiskusikan dengan Hyung.
Nggak bisa dipungkiri juga, pas awal-awal memulai, rasanya ganjel
gimana gitu. Tapi kudu mantep, wong aku perlu kroscek dan pingin tahu
perspektif Hyung.
Diskusi pertama kami adalah perspektif terkait keperawanan. Dari
situ berlanjut tentang marital rape, fake orgasm, kontrasepsi, dsb. Pokoknya kasus-kasus
yang ada di topik seks aku bawa buat didiskusikan. Karena jujur, aku ngeri
sendiri sama cerita rumah tangga orang-orang, yang masih berpegang teguh dengan
nilai, nggak melayani suami artinya dosa dan masuk neraka.
ANAK
Setahun lalu aku sempat melihat update-an instastory psikolog
favoritku, Mbak Inez Kristanti. Jadi di IG story nya itu ada sebuah cuplikan western
series yang mana diceritakan, seorang istri yang coming out ke suaminya bahwa
sebenernya dia nggak mau punya anak, dia merasa cukup dengan mereka berdua
saja. Suaminya kaget serta kecewa karena dia ingin sekali punya anak.
Buatku pribadi, masalah anak kudu banget didiskusikan bareng
partner, karena kedua belah pihak perlu menyamakan ekspektasi dan kalau nggak
cocok, bisa disudahi saja. Disamping itu aku juga memberikan beberapa hal untuk
didiskusikan bareng Hyung.
- Berdiskusi tentang keinginan punya anak;
- Kalau nggak bisa punya anak, apakah adopsi is an option;
- Apabila kami punya anak dan kami meninggal terlebih dahulu pada siapa kami akan memberikan wewenang pengasuhan anak kami;
- Bagaimana kalau anak kami terlahir memiliki cacat bawaan atau orientasi seksualnya berbeda dengan kami;
For me to have a new family member is a big decision. Ini
akan mempengaruhi keadaan kami secara fisik, psikis, dan finansial. Buatku,
punya anak nggak hanya sekedar, ih lucu, ih gemes, ini soal tanggungjawab,
karena mereka nggak pernah meminta untuk dilahirkan.
FAITH
“I’m not a religious person”, I told Hyung. Diskusi soal masalah value nggak lepas juga dari kepercayaan yang kami percayai. Dan aku merasa perlu sekali untuk membicarakan masalah ini untuk menyamakan presepsi. Takutnya aku disangka ukhti yang lemah lembut, padahal blangsak gini.
PEKERJAAN RUMAH
Salah satu kekhawatiranku saat berumah tangga, “Perempuan
itu kerjanya ya di dapur, sumur, dan kasur”. Belum lagi contoh yang aku dapat
dari kecil memang seperti itu, dan aku takut Hyung pun begitu, mau aku bekerja
atau tidak, urusan rumah sepenuhnya ada di aku, di perempuan.
Dan karena isu ini pula, aku mempertanyakan, apakah nilaiku
sebagai perempuan hanyalah pembantu rumah tangga saja? Bukannya aku punya
kesempatan yang sama sebagai manusia. Walaupun sudah dalam naungan institusi pernikahan,
tapi aku masih ingin bekerja dan berkarya.
Maka dari itu isu ini aku angkat jadi bahan diskusi kami. Mengingat
contoh-contoh yang ada di lingkunganku membuatku geleng-geleng kepala. Si istri
sudah bekerja di kantor, pulang-pulang masih harus ngurus pekerjaan rumah, dan
suaminya tidur aja.
I don’t want to be a slave; I want to have an equal partner
and build a teamwork!
Yang terakhir, ngobrolin soal mau tinggal di mana? Aku
bilang ke Hyung kalau aku ingin kami hidup mandiri, tidak tinggal di rumah
mertua atau rumah orang tuaku. Kalaupun kami nggak punya rumah, masih bisa kos
atau ngontrak.
Karena kata Mbak Nucha Bachri, “Membangun keluarga sendiri
itu sebaiknya tidak ada 2 ratu dan 2 raja.”
Setelah 6 hal ini kelar didiskusikan, rasanya lumayan lega,
karena mau bilang lega banget masih nunggu waktu, kami berdua butuh waktu untuk
saling menunjukkan action dari apa yang kami ucapkan. Tapi setidaknya, perspektif
Hyung cocok denganku, jawabannya memuaskan gaes!😁
Yaiyalah.. kalau nggak gitu, nggak mungkin kami kawin
kemarin. Hohoho…😆
Kami berdua masih harus belajar banyak hal, sadar bahwa kami
memilih berada dalam institusi ini karena keinginan kami sendiri. Dengan begitu
kami juga paham, bahwa setiap keputusan melahirkan konsekuensi yang harus kami
nikmati perjalanannya.
Berasa kek naik roller coaster nih, cuman masih di track
yang landai. Tinggal nunggu aja, bakal ada pengalaman seru apa nih?😝
Dan baru tersadar, setelah sekian lama, baru kali ini nulis
sampe 1000-an kata