Tak kenal maka tak sayang, bahasa puitisnya sih gitu. Udah setahun
belakang follow beliau di Instagram dan Twitter, tapi baru beberapa kali
membaca tulisannya di mojok dot co.
Btw, kayaknya kalian pada bingung, si Pipit ini ngomongin
siapa? Hehehe.. biasa, langsung nyrocos. Aku lagi ngomongin seorang penulis
yang bernama Kalis Mardiasih.
Mbak Kalis ini seumuran sama aku, cuman cuman.. edaaan, ini
cewek keren banget! Beberapa kali baca tulisan beliau di Mojok, I adore her!
Ada irisan yang sama antara aku sama Mbak Kalis, aku
tertarik dengan isu keseteraan gender. Mbak Kalis gencar membicarakan isu ini
di sosmednya dan aktif menulis di Mojok. Beliau ini cerdas dan wawasannya luas.
Karena itulah aku suka sama tulisan-tulisannya, jadi nambah perspektif baru.
Kemarin, sambil nungguin teman, aku sempetin baca tulisan
terbarunya Mbak Kalis yang berjudul Perempuan Pembuang Bayi yang Dimakan Anjing
dan Lenyapnya Laki-laki yang Menghamilinya. Waktu membacanya, aku menemukan sebuah
jawaban atas pertanyaan yang selalu melintas dalam pikiranku.
Kasus yang pernah aku temui seperti ini, seorang perempuan muda, usia di awal 20 tahunan, sedang menempuh pendidikannya di perguruan tinggi, memiliki mimpi untuk lulus tepat waktu dan mendapatkan pengalaman kerja, namun dilamar lelaki untuk segera menikah.
Dirinya menjawab iya, namun hatinya tidak sepenuhnya iya, karena ia memiliki
mimpi yang ingin digapai.Takut untuk berkata tidak, apalagi orang tuanya ikut
mengiyakan keinginan pihak lelaki.
Lalu muncullah pertanyaan dalam diriku, kenapa kita
(khususnya perempuan) sulit menolak dan ketakutan berkata tidak, seakan-akan
tidak memiliki pilihan.
Iya, aku tahu semua pilihan ada di tangan masing-masing
individu dan masing-masing dari kita yang akan menjalaninya, namun aku ikut berempati ketika pihak perempuan harus merelakan
mimpinya, seakan-akan tidak ada pilihan, karena pilihan hidup perempuan hanya dua
yaitu menikah dan melahirkan anak.
Kembali pada tulisan Mbak Kalis, jadi dalam tulisan
terbarunya itu Mbak Kalis menuliskan bagian terkuat yang membuatku merenung,
mungkin inilah salah satu faktor dan jawaban dari pertanyaanku.
Dalam tradisi yang patriarkal, perempuan diajarkan untuk menggantungkan nilai dirinya ke laki-laki. Perempuan remaja yang gelisah untuk dipilih laki-laki, sangat rentan menjadi tak rasional dalam menerima berbagai bentuk manipulasi atas nama cinta.
Dalam kerentanan yang berlapis-lapis itu, perempuan remaja tak bisa membedakan mana cinta dan mana agresi kuasa dari laki-laki yang mendekatinya.
- Kalis Mardiasih
Kalimat yang dituliskan Mbak Kalis bikin aku ngaca, ngelihat
ke diriku sendiri, di satu sisi aku beruntung, nilai diriku sebagai perempuan
tidak tergerus penuh karena sistem. Aku masih memiliki keberanian untuk
bersuara dan berkata tidak di momen-momen tertentu, karena aku sadar aku itu
manusia utuh yang merdeka.
Melihat juga pada relasiku. Memiliki partner seperti Hyung
bukan berarti aku menggantungkan nilai diriku padanya, aku tetap ingin ada sebagai
diriku sendiri, sebagai seseorang yang independent. Dia merupakan support
system-ku, bukan penyelamat hidupku.
Gambar: Photo by Matheus Bertelli from Pexels