Minggu kemarin aku sempet FOMO gegara sosial media baru yang
lagi booming, Clubhouse. Saking FOMO-nya pake orang dalem biar bisa dapet
invitation ke sosmed ini.
Kalian bisa tebak sendiri lah, siapa yang invite, tidak lain
dan tidak bukan adalah si hyung. Muehehe.. 😁
Kenapa aku ngebet banget pingin nyobain Clubhouse? Padahal Tiktok
yang baru aja booming beberapa tahun lalu, aku nggak ikutan. Suer, belum
punya akun Tiktok (nggak tahu deh ntar 😝).
Karena.. orang-orang panutanku di Instagram, kayak Fellexandro
Ruby dan Jonathan End pada nyobain Clubhouse. Selain itu first impression yang
beredar dari orang-orang yang udah join, mereka bilang sosmed ini tuh daging!
Sebagai orang yang pingin nyicipin dagingnya, pasti nggak
pingin kelewatan dong, pokoknya kudu join! Kesempatan emas nih buat dapat
insights dari para experts.
Realitanya, baru sehari join besoknya aku insecure. Ada
perasaan worthless di dalam diriku ketika join Clubhouse ini. Berada di antara
orang-orang smart dan sukses berasa kecil banget diriku. Kek butiran debu kelibas
kemoceng, ilang..
Tiap kali notifikasi Clubhouse ke-pop up di layar smartphone,
makin-makin aja insecure-ku. Sugesti kalau I’m nothing makin nyata, sampai
nangis akunya saking ngerasa bukan apa-apa.
Tapi tapi, ini nggak bisa dibiarin, gimana caranya kudu
release perasaan ini biar proses healing-nya cepet. Akhirnya ngambil jurnal, dan
mulai deh aku nulis uneg-unegku. Pas adegan ini, nangisnya lebih kenceng lagi.
Di saat nangis kenceng berasa dapat sinyal, sinyal lebih lega,
lebih lapang. Kalau dikalkulasikan bisa dibilang 30% dari diriku udah baikan, masih
sisa 70% nih. Udah bisa mikir lebih baik. Lanjut sesi chat sama si hyung, aku
cerita lagi kondisiku. Kekhawatiranku dengan fenomena Clubhouse FOMO yang aku
alami.
Walaupun sempet denial dengan keadaanku sendiri (nggak
pingin healing, maunya menetap diperasaan sedih), akhirnya bisa release setelah
si hyung nggak sengaja ngelawak. Wkakaka..😆 Sisa sesi healing dilanjutkan oleh waktu
tidurku. And yes, it works as usual..
Karena perasaanku lebih enak dan mikir lebih jernih, aku
nyoba untuk mengevaluasi perasaan FOMO-ku yang berujung insecure.
Aku yang antusias dengan topik self-development, merasa
harus berada dilingkungan yang tepat seperti Clubhouse. Tapi ketika sampai di
sana, aku malah merasa kecil karena tidak memiliki sesuatu yang pantas untuk
ditukar.
Terus tiba-tiba flashing adegan gimana aku dapat invitation masuk
Clubhouse, dari si hyung. Yang artinya, aku masuk kesana karena orang dalam,
bukan karena value yang aku punya.
Setelah tahu hal-hal tadi, aku coba kroscek lagi ke
inner-ku.
Pit, apakah kamu nyaman berada di Clubhouse?
Nggak, aku nggak nyaman, rasanya seperti ada pressure bahwa apa
yang aku punya sama sekali nggak berguna di sana.
Kalau begitu, apakah kamu setuju kalau insights dan ilmu
cuman bisa didapat dari Clubhouse?
Nggak, masih banyak tempat lain yang memberikan ilmu dan
rasa secure ke diriku.
Terus, what’s your next step?
Matiin notifikasi Clubhouse. Cara lama buat dapetin
insights nggak pernah semenyakitkan Clubhouse. Aku lebih nyaman dengerin podcast,
baca blog temen, atau baca buku, mereka lebih bersahabat sama kewarasanku.
Pelajaran apa yang kamu dapat dari fenomena Clubhouse?
Pertama, marketing Clubhouse kece bener. Efek FOMO-nya
nggak ngadi-ngadi. Memang yang bikin viral si Kangmas Elon Musk itu, cuman mereka
tahu, efek Elon Musk ini nggak bakal bertahan lama. Jadi pas viral, mereka
ngasih challenge lagi nih buat new user-nya, Clubhouse itu eksklusif, kalau mau
masuk ke sini kudu punya akses.
Gara-gara itu, psikologisku jadi keganggu, ada rasa seperti
ingin membuktikan diri ke khalayak umum kalau aku mampu. Padahal pas masuk sono
kek ikan teri, teri nasi pula! Eh tapi kalau dijual sekilonya kek harga daging sapi, heu~
Kedua, branding Clubhouse, seolah-olah hanya Clubhouse sumber insights paling berkualitas yang lain ke laut aje. Aku sampai lupa kalau
podcast, youtube, dan blog temen adalah tempat favoritku buat nyari insights.
Ketiga, kebanyakan informasi yang lalu lalang bikin aku kewalahan, ternyata aku perlu membatasi diri supaya nggak overthinking. Terus pas aku bilang, Clubhouse itu daging, ternyata kebanyakan daging pun nggak baik. Kolestrol ntar, fiuh..
Keempat, Clubhouse is not for everyone. Yah daripada makin
insecure, mending aku off dari perhelatan Clubhouse. Nah pas off gini kan
enak, nggak overthinking, bisa update blog, dan terakhir mencintai diriku
sendiri, sedaaaappp!!