Belajar Mengubah Stigma Relationship Goals
August 05, 2020You can watch the English version of this post on my IGTV @pipit1992
5 tahun yang lalu aku menonton sebuah video youtube yang berjudul
18 Things I Learned at 18 milik Amanda Margareth. Salah 1 hal yang ia
pelajari adalah relationship is not ownership. Aku mencoba mengartikannya
secara gamblang, relasi bukanlah kepemilikan, kurang lebih seperti itu. Tapi
aku tetap tidak mengerti maknanya, sampai akhirnya setahun belakangan ini topik
relationship menjadi topik favoritku.
Aku mengingat kembali sekelumit memori atas nasihat
percintaan dari teman-temanku,
“Perempuan itu harus menunggu, kamu jangan agresif.”
“Biar dia sadar, coba kamu kode-kodein.”
“Laki-laki itu harusnya peka, memperlakukan kita seperti
ratu.”
“Dia akan berubah ketika bersamamu.”
Sebenarnya sejak SMP aku mempertanyakan nasihat-nasihat tadi
pada diriku sendiri, ini valid nggak sih? Karena buatku sebagai perempuan yang
tidak memiliki beauty privilege, rasanya tidak masuk akal kalau aku harus
menunggu. Yah kita realistis aja, mana ada pangeran kuda putih ketoplak
ketoplak datang terus bilang will you marry me?
Sampai akhirnya menuju usia 27 aku menemukan akun Instagram
Andrea Gunawan aka @catwomanizer. Postingannya yang membahas tentang
relationship dan sexual health menjawab pertanyaanku perkara cinta dan nasihat-nasihat
teman-temanku dulu. Dari akun itu pula aku mengenal psikolog bernama Inez
Kristanti (@inezkristanti) dan Sri Juwita Kusumawardhani (@ladywitts) yang
membahas relationship dari sudut pandang psikologi.
Aku baru tahu, relasi yang paling penting dan harus dijaga
dengan baik adalah relasi dengan diri sendiri. Diri sendiri, inner, mindset, tidak
akan pernah lepas dari diri kita apapun yang terjadi. Mau kita benci, mau kita
dongkol, ini nggak akan semudah mengikhlaskan mantan. Mereka selalu bilang, love
yourself first than others, karena kualitas dirimu akan menentukan partner
seperti apa yang akan kamu pilih.
Akhirnya aku tahu kalau nasihat percintaan dari
teman-temanku tidak sepenuhnya pas, ada stigma dan konstruksi sosial yang condong
membentuk relasi yang tidak sehat. Aku mulai paham makna relationship is not
ownership.
Sebuah hubungan percinta bukanlah perkara siapa pasif siapa
agresif, bukan juga perkara memecahkan kode dan siapa yang harus peka. Buatku
membangun sebuah hubungan bagaikan membangun sebuah tim yang solid dengan
komunikasi dan kepercayaan karena tujuan akhirnya adalah tumbuh bersama.
Seperti kata Plato, “In a good relationship, a couple shouldn’t love each other
exactly as they are right now. They should be committed to educating each
other. Each person should want to seduce the other into becoming a better version
of themselves.”
9 komentar
benar "tujuan akhirnya adalah tumbuh bersama" tetapi saat menjalankan sebuah hubungan kita seringkali lupa bahwa tujuan akhirnya adalah ini
ReplyDeleteDan di negara yang sepertinya sebagian besar orangnya menjunjung tinggi stigma ini, sepertinya sulit juga menemukan pasangan yang punya pemikiran yang sama seperti tulisan di atas. Tapi sulit kan bukan mustahil.
ReplyDeleteIni bukan negeri dongeng yang tiba-tiba ada pangeran berkuda putih atau naik mobil datang melamar tiba-tiba. Kalau menunggu aja tanpa usaha malah nggak dapet-dapet. Harus berdoa dan berusaha dulu😁
ReplyDeleteBerusaha memperbaiki diri juga karena jodoh katanya cerminan diri kita.
Betul, menurut saya pribadi, relasi paling penting itu terhadap diri kita sendiri jadi sebisa mungkin kita harus fokus mencintai dan mengenal diri kita, baik buruknya, impiannya, keinginannya, semuanya sebelum fokus untuk mencintai dan mengenal orang lain, serta segala hal yang berhubungan dengan orang lain di luar personal kita 😁
ReplyDeleteDengan kita bisa tau apa yang kita inginkan, pelan namun pasti, kita akan bisa attract lebih dalam orang-orang yang tertarik pada kita. Jangan sampai hanya karena stigma yang beredar luas di masyarakat, kita jadi menahan diri untuk melakukan sesuatu yang kita anggap benar 💕 karena pada akhirnya hubungan bisa berjalan berdasarkan value yang kita punya 😉
relationship is not ownership.
ReplyDeleteini bener banget
hubungan bukan berarti kepemilikan atau bahkan seperti budak
yang benar memang tim yang solid
kadang seperti kepemilikan ini jatuhnya malah posesif yang berlebihan
ujung2nya malah engga bahagia
kan sedih...
Sayangnya jaman sekarang kok agak sulit menemukan seseorang yang punya kesadaran tumbuh bersama.
ReplyDeleteKebanyakan pada besarin ego masing-masing.
Tapi bukanlah suatu hal yang tak mungkin nantinya akan menemukan pasangan yang tepat.
(Ini termasuk buat ngademin hatiku hahaha)
Baca ini saya jadi ingat tulisan mba Eno yang diatas tentang "Know your worth" kurang lebih sama seperti yang mba bilang bahwa kualitas diri kita mempengaruhi partner yang akan kita pilih.
ReplyDeleteDan masalah nasihat percintaan tentang perempuan harus menunggu, saya ingat benar sama sahabat dekat saya, bagi dia konsep itu nggak guna. Bagi dia perasaan cinta itu milik dia, mau dia ungkapin atau tidak itu urusan dia, nggak ada hubungannya sama gender. Bahkan dia udah pernah nembak cowok dua kali.
Terakhir kalau ngomongin masalah relationship goals saya nggak punya bayangan yang gimana-gimana, karena pikiran saya sudah negatif duluan.
Relationship isn't ownership, baru denger kata2 ini dan langsung setuju!
ReplyDeleteAku pribadi tumbuh dengan stigma bahwa perempuan harus begini begitu, perempuan harus dibayarin cowok dsb, which is untuk beberapa part ada benarnya, tapi itu berlaku kalau sudah dalam lingkup rumah tangga yg menjadi kewajiban suami. Kalau masih sekadar pacaran rata2 stigma ini jg masih dibawa-bawa, padahal belum kapasitasnya.
Maka dari itu aku setuju banget bahwa menjalin relasi dengan diri sendiri untuk meningkatkan kualitas diri, value dan prinsip yg belum dibangun sebelumnya adalah penting. Sekarangpun aku dgn SO meskipun belum ke langkah yg lebih serius selalu berusaha menekankan bahwa hubungan itu tim, kerjasama, gak boleh ada yg terlalu dominan dan menekan, gak boleh ada yg berat sebelah. Kalau udh begitu, waktu untuk lebih mencintai diri sendiripun tetap bisa terjaga. Anyway, thanks for your thoughts mba Pipit!😍
Keceeehh... keceeehh.. keceeehhh :D
ReplyDeleteSaya tuh ya, merasa hidup saya kurang lengkap, kurang luas sampai akhirnya saya menikah.
Jadi pas nikah itu, saya shock minta ampun. even sekarang udah menikah sampai 11 tahun, eh bentar.
Sepertinya saya ini baru aja anniversary nikah loh, daaannn saya lupa wakakakakakakaka.
Astagaaa...
nah balik lagi ya ngomongin.
Maksudnya, pengalaman saya mengeksplore relationship itu sangatlah sedikit, saya hanya mengenal 1 orang lelaki, dan tidak punya banyak masalah selain masalah kami berdua.
Rasanya saya nggak pernah punya pengalaman disakiti, pengalaman, kasih bertepuk sebelah tangan di saat saya benar-benar pengen memiliki.
Intinya, saya nggak punya pengalaman yang mellow-mellow selain masalah kami mau nikah belum jadi-jadi saking belom punya duit hahahaha.
Jadinya, dulu tuh saya kurang bisa memahami secara nyata teman-teman yang curhat patah hati, lalu nemuin gantinya lagi, jatuh cinta lagi.
Dulu saya malah memandang aneh orang yang suka gonta ganti pasangan, sampai akhirnya saya menikah, dan tiba-tiba suami berubah.
Saya sampai depresi saking tidak mempersiapkan mental sebelumnya.
Diduakan, meski belum terlalu parah, sampai akhirnya jadi makin jauh dan saling tersesat.
Rasanya, kalau baca tulisan seperti ini, pengen balik ke masa lalu, pengen patah hati sebanyak-banyaknya, agar saya siap menempuh kehidupan tanpa drama setelah menikah.
Kasian anak-anak soalnya.
Mamaknya udah jadi mamak-mamak, baru mulai belajar tentang makna dari relationship itu sesuangguhnya.
betewe, kok jadi curcol sayanya ya hihihi
If you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X