Currently On August punyanya Mbak Lia di wordsofthedreamer(dot)com menjadi inspirasiku untuk blog post kali ini. Aku rasa ada beberapa hal yang ingin aku bagikan karena di Bulan Agustus ada beberapa kegiatan favorit yang aku lakukan dan membuatku senang. Tanpa banyak cincong, langsung saja aku mulai.

Taking Online Dance Classes

Semenjak pandemi yang resmi diumumkan pada Bulan Maret kemarin, aktivitas yang biasanya bisa aku lakukan di luar seperti berenang dan jogging harus tertunda. Sebagai anak rumahan, tidak ada masalah yang berarti sebenernya, cuman lama-lama bosen juga.

Akhirnya aku kembali pada aktivitas 10 tahun yang lalu yaitu dancing. Walaupun sebenernya kagok karena udah lama banget nggak nge dance tapi tetep disikat. Awal-awalnya nyari yang gratisan dulu dan mulai dari beginner level, teteup.. kan di youtube banyak tuh, jadi lumayan lah, udah happy terus hemat dikantong.

Karena aku mulai konsisten untuk practice koreo setiap satu minggu sekali, akhirnya di Bulan Agustus ini aku berani untuk coba ambil kelas berbayar di steezy(dot)co, sebuah platform yang menyediakan kelas dance secara online dengan instruktur dari professional choreographer.

Selama sebulan ini aku udah ambil 4 kelas dance. Dari ke-4 kelas yang aku ambil, yang favorit 3, soalnya yang 1 itu kecelakaan, kadung nyemplung yowes teles sisan.

Favoritku Chris Brown – Poppin dengan koreo dari Baiba Klints, terus Nicki Minaj – Yikes dengan koreo dari Nicole Kirkland, dan yang terakhir J. Balvin & Bad Bunny – Como Un Bebe dengan koreo dari CJ Salvador. Btw yang Como Un Bebe ini the best sih, karena ada campuran salsanya, walaupun dikit.

Thirty Days Of Lunch ft. Pandji Pragiwaksono

Salah satu podcast favoritku, yaitu Thirty Days Of Lunch (TDOL) dengan host Mas Ruby dan Mas Ario. Di season 2 episode 23, TDOL mengundang Pandji Pragiwaksono buat ngomongin Politically (In) Correct. Dari sepersekian episode TDOL yang lain, ini salah satu yang pecah sih! Berasa relate banget, soalnya ada satu segment di mana Bang Pandji ini bilang kurang lebih seperti ini, "Dari yang nyuci piring nggak tahu apa-apa, tapi karena TDOL jadi tahu dan makin pinter, kegiatan cuci piringnya jadi berfaedah". Nah pas banget, emang aku nggak lagi nyuci piring sih, cuman pas lagi nyikatin lantai kamar mandi dong, ya auto ngakak lah!

Islands Of Faith

Tilik memang bagus, tapi favoritku di Bulan Agustus adalah Islands Of Faith (IOF). IOF adalah film dokumenter garapan sutradara Chairun Nissa yang bisa kita saksikan di Netflix, akhirnyaaa..

Mungkin kalau dari judulnya masih asing ya, karena judul Bahasa Indonesianya adalah Semes7a, ada yang familiar? Film ini sempat tayang secara terbatas di bioskop Indonesia pada bulan Januari lalu. Dan jujyur, aku menaruh harapan untuk bisa nonton film ini, karena beberapa orang yang aku follow di Instagram memberikan review yang bagus untuk IOF.

Sampai akhirnya di Bulan Agustus, Netflix menayangkannya dong! Yaampooonnn!! Terharu aku tuh!!

Ini film dokumenter yang memanjakan mata dan menggugah hati. Sepanjang film, aku diajak jalan-jalan ke Bali, ke pedalaman Kalimantan, ke pesisir Papua, lalu ke NTT, dilanjutkan ke Jogja, dan berlabuh di Jakarta. Dari ke-7 tempat di 7 provinsi tadi, aku bertemu orang-orang hebat yang berjuang dan mengabdikan diri untuk menjaga keselarasan kehidupan manusia dan alam.

Melihat perjuangan mereka, kayak ikut dikasih semangat. Walaupun aku belum bisa melakukan hal besar dalam menjaga lingkungan, tapi film ini meyakinkanku kalau caraku untuk membawa tempat makan dan tumbler sendiri, itu sudah bagian dari komitmen untuk mencintai alam dan ikut berjuang bersama mereka. Tuh kan pen nangis lagi saking harunya sama film itu..

***

Begitulah 3 kegiatan favorit yang aku lakukan di Bulan Agustus. Aku berterima kasih sekali untuk teman-teman yang sudah membacanya sampai akhir. Terima kasih karena sudah menjaga diri dan kesehatan dengan baik, sehingga bisa menjalankan aktivitas seperti blogwalking ke blog ku ini. Sampai jumpa di Bulan September ya teman-teman!

 

Unpopular opinion, birthday is like a time bomb, it’s a countdown to your death.

Pemikiran ini masih bertahan sampai sekarang, namun ada yang berbeda saat memasuki usia 25. Aku menemukan sebuah rekaman indah yang berisi cerita dari remaja berusia 18 tahun. Rekaman ini yang membuatku berpikir ulang,

“Apakah bisa kita memasak ulang pemikiran ini dengan menambahkan sedikit bumbu?”

Memang benar aku akan mati, tapi pernahkan aku berpikir, pelajaran apa yang aku dapat selama hidup? Apakah aku sudah pernah mengevaluasi hidupku?

Bukanlah hal yang mudah saat mencoba untuk pertama kalinya. Menulis 25 hal yang aku pelajari selama 25 tahun seperti menulis laporan tutup buku akhir tahun. Pusing dan riweuh, tapi harus, aku harus melakukannya demi diriku sendiri.

Konsep ulang tahun sendiri ku ubah, aku tidak menyebutnya sebagai ulang tahun, tapi checking point day. Checking point day adalah hari di mana aku memperoleh satu point dan diwajibkan menjabarkan isi pikiran dan hati dalam satu atau lebih media untuk refleksi diri.

Dan tahun ini aku mencapai point ke 28 ku. Aku menambahkan 1 pelajaran baru sembari menunggu kematian. Pelajaran itu adalah, I can’t control others what I can do is control myself.

PS: Hari ini bukan checking point day ku, hanya ingin menulis saja :)

 

Sebagai orang Jawa, waktu mendengar judul Tilik aku nggak sadar kalau ini salah satu kata dalam Bahasa Jawa. Di tempatku sendiri, mayoritas kami lebih sering menggunakan kata nyambangi untuk menjenguk orang sakit ketimbang tilik. Kesadaran ini muncul ketika aku menonton film Tilik sampai selesai. Oalah, iki mang critone ape nyambangi Bu Lurah tibake!

Film ini mulai viral seminggu terakhir, bisa dilihat dari jumlah views yang ada di channel youtube Ravacana Films, yang sampai posting an ini naik sudah mencapai 9,8 juta views. Belum lagi karakter Bu Tejo yang muncul di mana-mana.

Aku sangat tertarik dengan karakter Bu Tejo ini, banyak netijen yang bilang kalau Bu Tejo ini mulutnya pedas, kita sebagai penonton kudu ati-ati. Bisa-bisa kita yang sebel sama Bu Tejo. 

Di situ aku berpikir, apakah karakter Bu Tejo ini secara tidak langsung menyindir kehidupan netijen? Kok sampai marah-marah dan sebel gitu? Atau, mungkin apa yang Bu Tejo tampilkan memiliki nilai ketersinggungan tersendiri bagi sebagian individu?

Selain karakter Bu Tejo yang menarik, scene ngegosipin orang di atas truk itu asyik banget. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan buku Sapiens. Di buku ini disebutkan adanya teori gosip, teori yang membantu manusia untuk berevolusi, karena dengan gosip, manusia mampu bekerjasama dan menghimpun kekuatan.

Gosip biasanya berfokus pada kesalahan, dan yang menjadi kesalahan di sini adalah karakter bernama Dian. Perhatikan bagaimana Bu Tejo menggiring opini dan menyatukan kekuatan ibu-ibu satu truk untuk berhati-hati pada karakter Dian.

Lalu adegan ditilang polisi, Bu Tejo dan sekutunya bekerja sama untuk melawan peraturan dengan ancaman bahwa ia memiliki saudara polisi yang berpangkat bintang jejer lima didukung dengan seruan dasyat ibu-ibu lainnya, akhirnya mereka menang. Padahal kita nggak tahu, Bu Tejo ini beneran punya saudara polisi apa nggak. Tapi terlepas dari ajaran apapun, gosip merupakan salah satu alat bersosialisasi yang kita lakukan dalam keseharian untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari orang lain.

Ngomong-ngomong soal karakter Dian, saat menonton film ini aku semakin yakin bahwa kita sebagai manusia tidak ada yang benar-benar putih atau hitam. Semua individu adalah abu-abu. Apa yang aku percayai dan aku anggap benar, belum tentu benar untuk kalian. Apa yang Dian lakukan di film Tilik adalah sebuah kesalahan di mata Bu Tejo dan sekutunya, namun bagi Dian ini adalah jalan yang ia percayai dan sanggup ia tempuh.

Dan yang terakhir jargon paling hits dari Bu Tejo, “Dadi wong mbok yo sing solutip”. Apa yang disampaikan Bu Tejo dari sekelebat kalimat tadi kayak nyuruh aku buat jadi orang yang punya growth mindset, bukan fix mindset.  Dan yah, aku sedang berusaha untuk ada di level itu. Karena beberapa kali aku merasa tertolong dengan menjadi orang yang solutip.

Salah satu hal yang aku notice adalah caraku berfikir untuk diriku sendiri. Sesederhana ketika aku menghadapi PMS. Ketika aku malas tahu tentang tubuhku, yang kena damprat biasanya partner ku, dan jujur kalau pas waras, merasa bersalah.

Tapi semenjak aku belajar bahwa tubuh manusia itu ajaib, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan saat PMS. Menjadi orang solutip dengan menulis journal, men tracking kondisi mood, gejala PMS, dan juga vaginal discharge. Sejauh ini, dengan melakukan hal solutip tadi, aku lebih aware dengan kegiatan atau hal-hal yang mampu membantuku meminimalisir mood swings ku saat PMS. Dan yang pasti, partner ku lebih tenang dan cenderung siaga memberikan perhatian saat aku memberi pesan, “Kayaknya aku bakal PMS tanggal sekian deh”.

Wait, berasanya aneh nggak sih dari ngomongin film Tilik berujung PMS. Efek long weekend gini amat yak..

Siapa yang suka foto-foto? Aku!

Siapa yang suka rewel kalau fotonya nggak bagus? Aku juga!

Berkaitan dengan dua hal ngeselin itu, aku selalu pingin punya foto diri yang proper, yang nggak sekedar selfie. Jadi kalau aku pingin foto, suka parno gara-gara yang motoin nggak niat lah, nggak bener lah, iissshh sebel!

Dua tahun terakhir ini pula aku tahu ada yang namanya self portrait photography. Bisa dibilang ini tuh versi advance nya selfie. Jadi kalau kamu merasa selfie itu mainstream dan nggak variatif, kenapa nggak coba ngulik self portrait photography?

Terus, apa aja sih yang diperlukan untuk memotret diri sendiri?

K A M E R A

Harus kamera yang seperti apa? Nggak ada, nggak ada ketentuan. Mau pakai smartphone, pocket camera, mirrorless, atau DSLR, selama itu bisa digunakan untuk memotret, kita udah punya modal utama. Jangan berkecil hati sama hasilnya, ingat prinsip person behind the gun.

T R I P O D

Secara gamblang maksudnya apapun alat yang bisa membantumu supaya kamera mampu berdiri tegak atau berada di posisi yang kamu inginkan. Bisa pakai tripod, meja, pakai selotip buat ditempelin ke dinding, terserah. Sekreatif mungkin dan jangan lupa perhatikan faktor keamanan gear mu.

P E N C A H A Y A A N

Cahaya matahari adalah pencahayaan terbaik dan murah untuk mendukung foto kita, hasilnya pun alami. Tips sederhana, kalau mau foto-foto ambilah waktu di pagi dan menjelang sore hari. Kalau aku pribadi, golden hour ku berada di jam 05.00 s/d 08.00 WIB dan 14.00 s/d 17.30 WIB.

I N S P I R A S I

Setiap kali mau foto-foto, aku pasti buka Pinterest. Ini salah satu platform andalanku untuk urusan foto-foto. Banyak ide kece bertebaran di sana. Kalian coba deh, ini berguna banget buat teman-teman yang awkward atau bingung mau pose kayak gimana di depan kamera, bisa coba diketik keyword nya, self photography ideas atau self portrait ideas. Kalau udah nemu yang pas, gunakan prinsip ATM, Amati, Tiru, Modifikasi.

E D I T I N G

Sentuhan terakhir yang kalau terlewatkan, foto bakal kerasa biasa-biasa aja. Kalau misalnya teman-teman kesulitan dengan aplikasi seperti Lightroom, bisa coba VSCO, RNI Films, atau Tezza. 3 Aplikasi tadi menyediakan preset atau filter untuk mendukung hasil foto kita.

K R E A T I V I T A S

Memotret diri sendiri itu jadi challenge buat mengasah kreativitas diri. Kadang mikir, harus ke tempat yang aestetik nih biar hasilnya oke. Ternyata nggak juga, selama kreativitas itu ada, bisa banget foto depan rumah. Cari aja sudut-sudut rumah yang menarik, jepretin.

***

Kebiasaanku melakukan ini berawal saat travelling dan ngerasa kalau orang lain yang motoin hasilnya nggak sesuai keinginan. So far, ini sangat membantuku untuk mendapatkan foto yang aku mau. Aku bisa foto di manapun dan kapanpun yang aku suka. Jadi tiap momen nggak bakal ketinggalan dan nggak perlu ngerepotin orang lain.

Salah satu artikel yang berjudul Self-Portrait Photography Ideas and Tips: Forget The Selfie dari skylum.com, punya quote yang bagus, coba deh baca:

Your self portrait photography can show so much about you as an artist. Your camera or studio equipment might be a cliché, but it’s one idea. Use a little imagination and whatever helps build the image you’re trying to project.

Apakah diantara kalian ada yang suka self portrait photography juga?

Apa makanan kesukaan kalian? Aku hampir semua, emang rakus aku tuh. Makanya kalau disuruh milih, kayaknya sulit, tapi aku tahu dan pasti nggak nolak dengan yang namanya sate ayam. This is one of the best foods ever! 

Kalian pernah perhatikan nggak di sate gitu? Tiap daerah punya ciri khasnya sendiri, khususnya pada bumbu kacang yang enyoy itu lho!

Salah satu sate ayam khas daerah favoritku adalah sate ayam Blora. Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan penghasil minyak. Jadi kalau kalian main ke sana jangan heran kalau hawane puanas puol!

Beberapa waktu lalu, saat pergi ke rumah nenek di Blora, kami sekeluarga mampir di salah satu warung sate legendaris yang bernama Sate Pak Daman. Ini pertama kalinya aku mampir ke Sate Pak Daman karena sebelumnya dibungkusin dan juga Bapak ngajak makan sate di sekitaran stasiun atau yang deket alun-alun Blora.

Apa yang istimewa dari Sate Blora Pak Daman?

Yang pertama, bumbu kacangnya. Bumbu kacang sate khas Blora itu beda. Bumbunya itu berwarna coklat dan oily, teksturnya sendiri lebih halus ketimbang bumbu kacang sate Madura dan juga ringan di lidah.

Yang kedua, penyajian Sate Pak Daman ini pake daun jati. Paling suka deh sama sesuatu yang kayak gini. Sayangnya waktu aku datang, stok daun jatinya habis, nggak ke foto deh. Untung sebelumnya udah pernah makan Sate Pak Daman yang dibungkus daun jati, seenggaknya kecewaku nggak banyak.

Berapa harganya?

Lupa akunya, hehe..

Rate?

4/5

Lokasinya di mana?

Sate Pak Daman Blora
Jl. G. Sumbing, Tempelan
Kecamatan Blora, Kabupaten Blora
Jawa Tengah

 

 

Sebelum pandemi merebak, aku berkesempatan untuk hunting foto ala-ala di sekitaran Jalan Dhoho, Kediri. Berbekal spik spik ke temen yang sebenernya dia malu-malu tapi mau, akhirnya dia luluh juga buat jadi modelku.

Sebenernya ini pengalaman pertamaku buat foto-foto di jalan. Eh bentar, di jalan? Lak yo ketabrak bos!

Hehehe..

Ini udah bisa disebut street photography belum sih? Soalnya aku suka serampangan kalau mengartikan sesuatu. Karena fotonya di jalanan aku anggep street photography deh, bener kan? Iyain aja ya kalau berurusan sama amatiran yang sok-sok kayak aku.

Seperti yang aku sebutkan di awal, karena ini pengalaman pertama, aku lumayan mengalami kesulitan. Dari sisi gear, kameraku ini kamera mirrorless buat pemula yaitu Fuji Film X-A3 dengan lensa fix (fix manual, kudu ngeker dewe) yaitu Meike 35mm 1.7f.

Emang ini nggak cocok buat nyetrit sih, yah tapi punyanya ini. Kesulitan foto nyetrit dengan lensa manual, nggak iso sak karepe dewe, kudu ngati-ngati. Si obyek geser dikit kudu ngeker ulang, terus tiap momen nggak bisa dapet, yo mergo manual kuwi. Syukur-syukur dapet yang clean, kebanyakan ngeblur, wkakaka..

Itu tadi dari sisi gear, sekarang SDM nya. Dikata lagi proyek perubahan, pake istilah SDM.

Aku suka foto-foto, tapi sayangnya kemampuanku mengarahkan model nggak ada. Temanku ini bukan orang yang sering berhadapan dengan kamera, jadi kadang suka bingung mau pose kayak gimana. Aku pun ikutan bingung, akhirnya kita berdua bingung, jadilah motoin tukang parkir yang nggak ikutan bingung, lah..

Oh ya, aku mau cerita sedikit. Jalan Dhoho itu ibarat Malioboronya Kediri, isinya pertokoan dan ada beberapa sudut jalan yang isinya jualan oleh-oleh tahu kuning khas Kediri. Kalau malam, di sepanjang teras toko yang sudah tutup bakal banyak penjual nasi pecel tumpang khas Kediri. Kalian harus coba kalau main ke sini. Apalagi kuliner pecel tumpangnya, jyos!

Sesi hunting berakhir karena cuaca mulai berubah, berubah mendung kelabu layaknya hati orang-orang merindu. Nganu Pit, kita lagi bahas hunting foto bukan rintihan hati para penikmat senja. Mengakhiri sesi hunting, kami mampir di salah satu kafe kecil dekat Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Hah.. walaupun hasil fotonya tak seindah karya Picasso, tapi setidaknya aku senang dan ingin lanjut hunting foto di tempat lain.

 

Akhir bulan Juli kemarin aku mulai kembali aktif untuk menulis di blog ini setelah setahun vakum dan tidak menyumbang apa-apa.

Kalau dilihat dari efisiensinya, daripada buang-buang uang buat bayar TLD, mending pakai yang gratis dari blogspot, wong nulis ae arang kading, yo gak?

Secara rasional kalau dipikirkan memang begitu, tapi mau bagaimana lagi, sisi emosionalku terhadap blog ini lebih kuat. Aku rasanya tidak rela kalau harus melepas heypipit(dot)com begitu saja. Berat banget!

Layaknya melepasmu dari pelukanku..

Aku sudah memperhitungkan konsekuensinya, menghitung budgeting ku juga supaya heypipit(dot)com akan terus ada sampai aku lelah, hahaha..

Supaya blog ini keliatan lebih segar dan mengikatku lebih lama, aku memesan sebuah ilustrasi kartun dari @omahkajoe di Instagram. Kalau kalian perhatikan bagian header dan foto profile, mereka berubah menjadi ilustrasi kartunku. Kalau kata selebgram masa kini,

“JUJUR, EMANG INI TUH SELUCU ITU! KALIAN HARUS COBA!”

Nggak, nggak.. canda doang. Tapi aku suka dan puas, karena memang selucu itu, oke aku sudah mengulang kalimat ini dua kali.

Setelah berbenah sedikit, rasanya blog ini makin nyaman, makin yakin untuk memanggilnya rumah. So, welcome to my home!  

You can watch the English version of this post on my IGTV @pipit1992

5 tahun yang lalu aku menonton sebuah video youtube yang berjudul 18 Things I Learned at 18 milik Amanda Margareth. Salah 1 hal yang ia pelajari adalah relationship is not ownership. Aku mencoba mengartikannya secara gamblang, relasi bukanlah kepemilikan, kurang lebih seperti itu. Tapi aku tetap tidak mengerti maknanya, sampai akhirnya setahun belakangan ini topik relationship menjadi topik favoritku.

 

Aku mengingat kembali sekelumit memori atas nasihat percintaan dari teman-temanku,

“Perempuan itu harus menunggu, kamu jangan agresif.”

“Biar dia sadar, coba kamu kode-kodein.”

“Laki-laki itu harusnya peka, memperlakukan kita seperti ratu.”

“Dia akan berubah ketika bersamamu.”

 

Beberapa bulan lalu iseng, iseng baca postingan-postingan lama, dan akhirnya ketemu salah satu postingan di tahun 2013 yang berjudul Pekan Kondom Nasional = Legalisasi Perzinahan Sehat? Postingan ini mewakili diriku 7 tahun yang lalu, yang masih kolot.