My Quarter Life Crisis, Aku Berbohong Pada Diriku Sendiri
July 22, 2019
I made the english version on my IGTV, so if you prefer the audio visual just tap here
Terpapar shoujo manga dan drama
korea sejak SD, ditambah Mamaku yang menikah di usia 23 tahun, membuatku
bermimpi menikah semuda mungkin. Keinginan ini bertahan sampai usiaku 23 tahun,
“Pokoknya lulus kuliah aku harus nikah!”, mungkin seperti itu gambaran inner ku
di usia 17-23 tahun. Eh kalau dipikir-pikir cocok juga aku ikutan grup
Indonesia Tanpa Pacaran.
Bentar deh, kenapa aku bacanya
kayak narasinya avatar yak?
Usia 24 jadi titik balik dan
merubah total keinginan menikah mudaku. Ada rasa kayak nggak rela. Nggak rela
karena aku menghabiskan 4 tahunku dalam penjara dan setelah ini harus mengemban
tanggungjawab lain yang amat sangat besar kalau aku memutuskan menikah. Aku
nggak bisa menikmati masa mudaku kayak temen-temenku yang kuliah di universitas
biasa. Nyobain fashion terkini, pinter dandan, travelling ke berbagai tempat,
pokoknya hal seru yang anak kuliah lakukan lah.
Toh, kalau mau nikah ama siapa
juga, orang nggak punya calon! Semakin halu kalau minta kewong saat itu juga.
Cuman, ada yang aneh di saat itu.
Aku yang memang merubah cara pandangku, tapi ada rasa takut, takut dikucilkan
oleh teman-temanku karena cara pikirku yang nggak normal.
Setiap kali diundang ke acara
tunangan atau pesta pernikahan, aku hafal betul, akan ada beberapa temanku yang
sawanen..
“Duh, kapan yah aku nikah?”
“Duh, cowokku kok nggak ngelamar
aku sih?”
“Yaampun aku baper, pingin nikah
juga..”
Aku yang saat itu takut dianggap
aneh, sok ikutan baper bareng mereka. Aku takut kalau aku dikucilkan..
Aku masih ingat betul, tahun 2016
aku pernah nulis postingan dengan judul Kapan Saya Nikah? buat lomba blog.
Sekarang kalau aku ingat kenapa geli sendiri. Btw, postingan ini nggak aku take
down loh, jadi silakan buat kalian yang ingin menjadikanku bahan hujatan bisa
banget dicari, haha!
Bukan cuman itu, perkara finansial
sempat membuatku kacau di awal-awal lulus kuliah. Aku tertekan di masa awal aku
bekerja. Memiliki lingkungan pertemanan yang money oriented membuatku stres.
Setiap kali bertemu mereka, pembahasan tak jauh-jauh dari urusan lahan basah
dan lahan kering.
Belum lagi teman-temanku yang
melangsungkan pernikahan dalam waktu yang berdekatan. Aku senang atas
pernikahan mereka, tapi tekanan atas batas bawah nominal uang kondangan yang bikin
aku stres karena kondisi keuanganku yang serba pas-pas an.
Lalu..
Di tahun 2017, memasuki usia 25,
aku untuk kesekian kalinya travelling
dan pertama kalinya jatuh cinta dengan fotografi, nggak tahu gimana
ngejelasinnya, kayak keterpa angin segar. Lalu beberapa saat kemudian bertemu
dengan teman-teman se vibe yang akhirnya memberanikan diri kalau nggak ada yang
salah dengan cara pikirku ini. Aku pun pindah tempat kerja, serasa keluar dari
lubang buaya setelah sekian lama terpuruk di sana. Dan akhirnya QLC ku
terlewati dengan baik.
Menghadapi
Quarter Life Crisis
Aku membaca
artikel Millennials, This Is What Your Quarter Life Crisis Is Telling You by
Jules Schroeder di situs Forbes. Schroeder menceritakan fenomena QLC bukanlah sesuatu
yang perlu ditakuti karena bisa jadi QLC memang kita perlukan supaya kita bisa
naik kelas, kelas kehidupan maksudnya.
Di
artikel yang sama, Schoeder berbagi cerita dari Robert MacNaughton, co founder dan
CEO Integral Center, organisasi yang bergerak pada pengembangan diri. Ia
membagikan cara mengasah diri menghadapi QLC dan pas aku baca tuh sambil
manggut-manggut soalnya setuju dan kebanyakan tanpa sadar aku sudah melakukannya,
sampai bisa melewati QLC.
MacNaughton
bilang, step up and create the things you want to see the world. Fotografi yang
aku kenal di tahun 2017 membuatku tahu kalau dunia itu bisa dibuat indah bahkan
buruk di setiap jepretan. Permainan warna dan menghilangkan objek yang tidak
aku inginkan, menghaluskan kerutan, jadi bukti kalau dunia itu akan indah ketika
aku tahu cara menghadapinya. Sebaliknya ketika aku males ngedit foto dan hasil
jepretan seadanya, aku tahu duniaku tidak akan seindah keinginanku kalau aku
nggak mau usaha.
Stop
trying to please others, mengikuti apa kata society supaya diakui dan diterima,
ternyata capek dan berat. Ekspektasi mereka selalu tinggi dan memaksa.
“Mana
calonnya?”
“Kamu nggak pingin juga cepetan nikah kayak
aku?”
“Mau
sampai kapan kamu gini terus? Umur kamu udah 25 loh, aku dulu nikahin istriku
waktu dia umur 24!”
“Eh gaji
kamu berapa sih, pasti gede ya soalnya kerjaan kamu enak”
“Coba
kamu ditaruh di kantor A, itu tuh lahan basah tahu!”
“Eh tau
nggak si B, dia udah dapat jabatan loh di kantornya.”
Kalau
aku lemah dan mendengarkan semua perkataan orang-orang, apakah mereka akan
turut bertanggungjawab atas depresiku nanti? Tapi sebelum menyalahkan mereka,
lebih baik aku berhenti dan merapkan seni masa bodo. Orang suka banget ngurusin
hidup orang lain sampai lupa kalau hidup mereka belum bener.
Berbicara
pada diri sendiri, listen to your inner voice. Aku mencoba berkompromi dengan
diriku sendiri, apa sih mauku? Apa sih goals ku? Walaupun terkadang aku suka
bingung karena belum menemukan jawabannya, tapi yang namanya mengenal diri
sendiri nggak bisa sehari dua hari kan? Aku perlu belajar setiap hari, karena
manusia itu makhluk yang dinamis, akan berubah seiring berjalannya waktu.
Belajar mendengarkan diri sendiri, karena yang tahu kekuatan dan kelemahanku
dengan baik ya diriku sendiri, bukan orang lain.
Uncover
your identity by trying new things. Solo travelling adalah tahap awal yang aku
pilih untuk mengenal potensi diriku. Ternyata aku bisa melakukan banyak hal
sendiri dan tidak takut untuk ditinggal teman-temanku nanti, karena masih ada
orang lain yang akan jadi temanku di kemudian hari. Ketakutan itu sedikit demi
sedikit menghilang.
Tap into
your resistance. Seni bodo amat bisa jadi pertahanan terbaik, yah walaupun itu
nggak mudah diawal. Ketika aku terbiasa dengan sikap bodo amat, ternyata
hidupku lebih baik, nggak perlu pusing dan merasa didikte orang-orang atas
pilihan hidupku.
QLC mengajarkanku, memang berat menjadi diri sendiri, karena aku diliputi rasa takut dikucilkan dan dibuang dari society. Tapi karena QLC pula aku tahu kalau menjadi diri sendiri itu bukan perkara aku menjadi seseorang yang egois, ini perkara aku bisa menerima prespektif dan cara pandangku tentang hidup serta berani jujur akan itu. Memahami kalau memang nanti society tidak menerimaku, itu adalah hak mereka dan hakku juga untuk tidak menuruti keinginan mereka karena aku punya caraku sendiri untuk bertahan hidup.
16 komentar
Halo mbak, seneng banget baca tulisan mbak tentang QLC ini. Aku gatau apakah aku sudah mengalami QLC ini atau belum tapi yang aku tau aku harus kuat. Lingkungan aku juga sama kayak mbak, sudah pada nikah sudah banyak yang sukses dan banyak yang ikut lingkungan hijrah ala medsos. Atau yang menikah tapi biar agama tergenapkan padahal belum bisa apa-apa.
ReplyDeleteAku ngerasa aku belum ke arah sana, kadang ngedown ngeliat temen yg tau-tau udah bagus agamanya tapi aku masih gini2 aja, atau liat temen udah nikah keliatan bahagia dan sukses. Tapi aku ngerasa semua itu proses perlu jadi diri sendiri aja gaperlu takut ditinggal seperti yg mbak pipit bilang, soalnya bisa aja hidup ku atau hidup mbak yang sekarang itu bikin QLC seseorang muncul. HUhu jadi sedih
It's a nice sharing!
ReplyDeleteThank you for the video "IGTV" and well-written post.
I love your thoughts, sometimes we spend so much worrying about not to get married. That's good though, "QLC" help you out :)
Aku juga akhir-akhir ini mencoba nerapin prinsip "masa bodo" sama pertanyaan atau omongan dari orang lain mbak. Tapi jujur, nggak semudah itu ternyata. Kadang ya, masih sering kepikiran. Apalagi kalau mbahas masalah nikah, karir, dan pencapaian. "Aku kok gini-gini aja, ya...." :(
ReplyDeleteKayak e aku sempet baca tulisan yang solo travelling itu. Yang pas main ke Jogja sendirian bukan ya?
Menurutku QLC bisa terjadi pada usia berapa saja, meskipun normalnya ada pada rentang usia yang kamu sebutkan. Soalnya, aku pernah juga ketemu orang yang baru mengalami fase QLC-nya pada usia di atas 30 tahun. Hehe.
ReplyDeleteBy the way, aku baru aja melewati satu fase: bersikap bodo amat, dan menjadi apa yang aku mau.
Lingkunganku bisa dibilang "alim" dan semua orang bertingkah "normal" sampai akhirnya aku merasa tidak bisa berekspresi dan akhirnya keluar dari zona itu dengan melanggar semua batas "normal" dan "alim" itu. Awal-awal sangat banyak komentar negatif, tapi lama kelamaan mereka balik ke kebiasaan. Dari situ aku jadi menyimpulkan kalau apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, orang-orang itu akan tetap berkomentar, lalu seiring berjalannya waktu akan kembali ke kesibukan masing-masing seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
And the good thing is, I never give a fuck since the very beginning. Aku melakukannya karena memang ingin, bukan karena lingkunganku.
Gue malah nggak ngerti sama sekali soal lahan basah dan lahan kering. Hehehe. Waduh, tapi rusuh juga kalo semua "pertemanan" malah bikin kita jadi boong sama diri sendiri. Mendingan jadi traktor sawah. :p
ReplyDeleteLahan basah lahan kering tu maksudnya piye?
ReplyDeleteMonmaap aku ga ngerti hehehe
Mmm, QLC banyak yg ngalamin juga yah.
aku sering mikirin apa yg orang lain pikir tentang aku tapi aku ga tau apa itu termasuk QLC atau bukan. Aku pikir, emang dasarnya aku ngerasa nggak PD aja setiap waktu. Pernah ditanya keluarga soal kapan nikah. risih emang dengernya... tapi aku ngeloyor aja hahah bomat.
Kisahnya sangat berliku ya kak, tapi seru untuk di baca, pertanyaan kapan nikah memang menjadi momok yang menakutkan, apalagi belum ada calon
ReplyDeleteQLC itu wajar kok dialami pada usia rentang 20an. Dulu kan kita berpikir usia 20 itu sudah waktunya dewasa, ambil keputusan, kalau bisa sudah menikah dan membangun keluarga. Padahal sebenarnya kalau dari banyak buku yang saya baca, usia 20 itu adalah usia peralihan dan kebanyakan dewasa baru mulai merasa nyaman dengan hidup dan keputusan-keputusannya ketika sudah menginjak usia 30an. Jadi mba Pipit tenang saja, selama bisa overcome the situations, pasti bisa meraih kebahagiaan. Terus jangan terlalu memusingkan omongan orang, semakin kita tua circle kita semakin kecil dan saya pun setuju soal solo traveling akan membantu kita untuk berdiri di atas kaki kita sendiri. Mengambil keputusan-keputusan yang penting untuk kita sendiri tanpa harus 'please orang lain' :) anyway, selamat sudah melewati QLC dan semoga tetap semangat mengejar mimpi-mimpi~
ReplyDeleteSaya pernah merasakan ini, terlebih lagi di masa QLC ini adalah turning point gue juga. Walaupun sekarang masih belajar banget untuk berdamai dengan diri sendiri yang susahnya minta ampun
ReplyDeleteHal terberat adalah bagaimana kita tetap teguh sama pilihan hidup kita di saat orang-orang menganggap jalan hidup yang kita ambil ngga normal..
ReplyDeletePaling enak emang kalau ketemu temen yang se-vibe.. bikin kita jadi ngga merasa khawatir..
-Traveler Paruh Waktu
Aku! Udah baca ini sejak dipublikasikan. Hanya saja masalah waktu dan kesempatan, belum bisa meninggalkan komentar. Karena untuk tulisan seperti ini I need more time untuk ikutan kontemplasi.
ReplyDeleteKontemplasi is hobby :/ wkkw.
Aku banyak ngobrol dengan umik dan tante2 yang usianya antara 30-50 an. Dan mereka juga pernah mengalami stres mirip seperti ini, hanya rasanya tidak serumit apa-apa yang dikeluhkan atau dialami so-called-anak-millennial.
Mungkin sudah sifat bawaan, tapi sejak SMA aku udah terlindungi (?) dengansikap bodoamat oranglain mau berkata apa. Tapi ternyata, bukan perkataan orang yang memengaruhi aku, tapi pencapaian orang-orang. Pencapaian-pencapaian itu yang bikin aku stres. Mempertanyakan diri sendiri, 'ini mau dibawa kemana nih hidup ya Allah.'
Tapi satu yang terus kugaungkan dalam kepala; semua ada waktunya. Sambil nunggu, berusaha. Not as easy as I type these words, duh.
Anyway, sepanjang apapun kita menuliskan sesuatu seperti ini, gak akan selesai kalau terus-terusan muter di kepala. Face it, harus benar-benar dilakukan dalam setiap gerakan tubuh dalam hidup /apaan sih.
Selamat menua. Wkwkwk
ReplyDeleteTiap orang punya jalan ninjanya masing-masing. 😬
Kita punya visi masing2 yah, so gak usah takut dikucilkan teman2nya mba
ReplyDeletesama sperti saya juga pas masuk usia 24 thn hehe. tapi gimanapun hadapi sjaa
ReplyDeleteKalau pergi kekondangan teman yang seangkatan, kadang ada rasa pengen juga gitu hahaha. apalagi kita belom punya calonnya, aduuhh rasanya kaya hidupp kita yang paling ngeness :(
ReplyDeleteLahan basah dan lahan kering itu tentang saham ya, Pit? Saya bingung. Haha.
ReplyDeleteHmm, saya enggak ngerti kenapa beberapa teman perempuan juga merasa pengin nikah sebelum usia 25. Katanya lewat dari itu nanti dibilang ketuaan. Segitunya amat memikirkan penilaian orang lain. Padahal mah sebagian yang lain sewaktu udah 28 dan lajang masih asyik aja buat jalan-jalan dan menikmati masa muda. Bahkan katanya ada yang enggak mau nikah. Jadi, ya mending urusan masing-masing aja. Tanpa perlu komentar sembarangan sama hidup orang lain.
Meski begitu, saya akui dulu ketika usia 19 juga pernah punya niat sama pacar bakal menikah pada umur 24, eh kocaknya 3 bulan kemudian justru putus. Setelah dapat pacar baru, lalu begitu lagi. Fase ini semacam terus berulang hingga umur 23. Setiap kali ada rencana serius dan hubungan pacaran menuju tahun kedua, taunya baru 19 bulan berakhir lagi. Masih gagal melulu gitulah niat dan usahanya. Sampai-sampai di dalam diri pikiran untuk nikah umur 24 itu lenyap, hingga mengalami masa-masa suram, muak sama hidup, dan justru pengin mati muda aja sebelum 24.
Setelah ulang tahun ke-25, merenung: oh saya masih dikasih hidup ya. Yowes, kalem bae buat menikmati hidup tanpa terlalu mengejar target seperti yang pernah direncanakan sebelum-sebelumnya. Berusaha untuk lebih mencintai diri sendiri sekalipun merasa banyak gagalnya dalam hidup.
If you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X