Basa Basi (Busuk) Lebaran
June 25, 2019
Halo, apa kabar teman-teman semuanya, sebelum aku memulai
postingan ini, ada baiknya nih diawali dengan Minal Aidzin Wal Faidzin kepada
teman-teman semuanya, mumpung masih Bulan Syawal.
Well, gimana
lebarannya? Seru nggak nih? Atau yang sepantaran sama aku mulai ngerasa lebaran
kali ini nggak seseru jaman kita kecil dulu?
Sebenernya postingan ini dibuat setelah baca sebuah artikel
di Vice, buat kalian yang udah sempet baca juga dan mengalami hal yang sama
dengan artikel tersebut pasti tahu rasa gregetnya, karena akupun begitu. Dan
dipostingan kali ini, aku bakal cerita tentang opiniku soal lebaran yang
semakin kesini nggak seseru dulu.
Akan aku mulai ketidakseruan lebaran saat aku kuliah. Tidak
ada pertanyaan resek macam kapan nikah dan lulus, cuman risih dengan sepupu
yang mulai becandain minta uang saku dari aku, “Mbak, sangune ndi?” (Mbak, angpaonya mana?).
Yah sekali dua kali
oke lah, masih bisa aku terima dan dibawa santuy.
Cuman kalau dibawa terus-terusan neg juga dan semakin menekankan kalau ini
semacam sindiran(?). Di lebaran kala itu, aku sebagai cucu pertama dari
keluarga pihak mama, bisa bayangin dong kalau aku ini pentolannya, cuman nggak
habis pikir aja, apa korelasi kuliah = punya duit banyak?
Mungkin
sepupu-sepupuku ini nganggep kalau
tempat kuliahku yang notabene gratis dan dapat uang saku itu sebagai privilege. Maka dari itu seakan-akan aku
terlihat sudah berpenghasilan. Padahal mereka nggak tahu aja gimana aku 2 tahun
harus survive dengan uang saku
pas-pasan buat bertahan hidup di Jatinangor. Iya bener emang kuliahku gratis,
nggak usah mikir kos dan makan, tapi bukan berarti aku tidak mengeluarkan uang
sama sekali. Apalagi biaya hidup di Jatinangor nggak semurah di Kediri, aku
sendiri muter otak biar nggak kere banget, dan berakhir dengan jualan pulsa
sama pancake durian biar bisa beli Al Ma’sum.
Selanjutnya lebaran tahun ini. Aku sadar, semakin
bertambahnya umur, lebaran semakin kompleks, selain harus mengatur keuangan, aku
harus siap menghadapi cekokan basa basi dari para kerabat. Dan inilah top 5
charts basa-basi lebaran versiku :
Mana Calonnya
Aku menjunjung tinggi privasi, berusaha dengan baik tidak
mengulik hal-hal pribadi orang lain karena aku tahu rasanya dikepoin itu nggak
enak, dan bagiku pertanyaan “Mana calonnya?” atau “Kok nggak main kesini?”,
adalah sebuah pertanyaan risih karena sudah melanggar privasiku.
Kapan Mantu
Pertanyaan ini nggak ditujukan padaku, tapi ke orang tuaku.
Tapi pas ngedengerin nya, rasa
risihnya sama kayak ditanya mana calonnya. Emang kalau jadi mantu mau ngasih
amplop berapa sih? Paling banter juga lima puluh ribu, belum lagi dicacat ini
itu, lelah ogut!
Gendutan – Kurusan
Ternyata orang-orang emang suka body shamming yak. Aku sih bodo amat, soalnya orang-orang nggak
konsisten sama basa-basi ini, ada yang bilang aku gendutan, ada yang bilang aku
kurusan, kayaknya perlu ke dokter hewan nih rang orang. Sepanjang aku tahu
kalau berat badanku masih di angka normal, ini sudah cukup menguatkan mentalku
menghadapi body shamming seperti itu.
Paslon 01 dan 02
Aku tuh nggak habis pikir, masih aja gitu ngobrolin 01 dan
02 di saat lebaran, bahkan sampe ngotot-ngotot gitu, pusing pala Barbie! Inget
banget, lebaran kedua ke rumah tetua desa gitu, Mbahnya tiba-tiba nyeletuk soal
salah satu paslon, gayung bersambut baik dari Bapak yang mana memiliki kesamaan
siapa yang didukungnya. Aku yang mulai risih, muter otak gimana cara keluar
dari obrolan nggak guna ini.
Kerja Dimana
Aku kerjanya jadi deadwood!
Lima basa basi ini nggak bakal sama ditiap individu, sempet
bertukar cerita dengan temen-temen kantor (temen cewek) apa aja basa basi yang
mereka dapetin waktu lebaran. Ada yang ditanya kapan nambah anak, ada yang
dibilang kebanyakan anak, ada yang baru lahiran dikira udah isi lagi, dsb.
Lebaran yang harusnya bikin happy jadi pingin uring-uringan nggak sih? Yang awalnya bilang “Mohon
maaf lahir batin” akhirnya batal karena basa basi yang akhirnya nggak perlu.
Orang yang sok ngide basa basi bener-bener nggak sadar kalau kata-katanya itu
udah nyakitin orang-orang disekitarnya. Terus kita harus gimana?
Aku mengambil pelajaran penting dari basa basi (busuk) orang
Indonesia yang notabene nggak hanya pas lebaran aja. Fenomena ini akan terus
berulang disaat momen-momen kumpul keluarga, reuni, dsb. Seberapa marahnya aku
atas basa basi (busuk), mereka nggak akan (mau) mengerti. Budaya orang
Indonesia yang emang selalu diawali dengan basa basi ini udah mendarah daging lama.
Mau nggak mau aku yang harus menuntut diriku sendiri untuk mengerti dan menahan
amarah atas budaya ini.
CMIIW, aku pernah baca di suatu artikel budaya silahturahmi
dan maaf-maafan hanya ada di Indonesia, dibeberapa negara yang memiliki
orang-orang muslim di dalamnya tidak melakukan kebiasaan ini. Karena budaya ini
mengakar, mau aku melawan seperti apapun aku tidak bisa menghapusnya dan
mengubah pola pikir orang-orang atas basa basi ini, yang bisa aku lakukan
adalah menahan diri dan tidak berbuat hal serupa pada orang lain.
Pernah denger nggak sih, tingkat kedewasaan kita bisa
dilihat dari cara kita berhadapan dengan orang lain. Ketika orang itu menyerang
dengan basa basinya, ketika kita siap menyerang balik dan kata-kata itu sudah
ada di mulut, kembali kita telan karena sadar, tenaga kita akan habis percuma
dengan melawan mereka.
Di sisi lain, aku mencoba meningkatkan kembali self defense ku, belajar untuk nggak
mikirin omong kosong orang lain atas diriku, aku adalah aku, aku punya prinsip
dan nilai-nilai yang aku pegang sebagai pedoman hidupku. Jangan sampai hanya
karena omongan mereka aku berubah dan jadi orang lain.
Mungkin juga ini terjadi karena masyarakat kita membentuk
sebuah pengakuan halu atas kesuksesan dan kebahagiaan. Di mata mereka bahagia
dan sukses itu diukur dari kuliah di PTN mana, kerja yang gajinya gede,
menikah, dan punya anak. Kalau 4 unsur
utama tadi nggak bisa dipenuhi semua, kita dianggap nggak sukses dan bahagia,
padahal yang tahu kadar bahagia dan sukses itu kita sendiri, bukan apa kata
mereka.
Gimana dengan kalian? Apakah lebaran kali ini benar-benar
semenyenangkan dulu atau semakin njlimet gara-gara
basa basi (busuk) rang orang? Let me
know, apa yang kalian lakukan buat ngeles? Kalau aku sih mending ditanyain,
“Dulu waktu sekolah pake buku paket dari Erlangga apa Yudhistira Pit?”
5 komentar
Nice work ��
ReplyDeleteAku berusaha mengerti klo mereka yg basa basi itu emang karena ga pernah ketemu, jd yg ditanya pasti itu2 aja.. Beda sama temen yg tiap hari ketemu. Kalo aku menyikapinya yaaa xenyumin aja :) atau balik tanya: "bapak kapan nikah lagi?" / "mbah kapan mati?" / "ibu kapan cerai?" Gitu misalnya.. Tapi ntar kualat jadi yaudalah. Stay calm, stay beauty, stay positive �� toh cuman pertanyaan doang.. Enjoy aja.. (Sambil nyiapin bazoka di belakang)
Minal aidin juga yaa! Wah itu rusuh juga sih. Padahal kuliah lho ya. Belum kerja. Gue malah kebalikannya. Agak bingung ketika mau ngasih, tapi ngerasa "Aku ini sopo?" kok ngasih2 angpao. Hehehe.
ReplyDeleteAl'Masum apaan sih?
ReplyDeleteHaha, kalau gue sih selalu gue jawab dengan sarkas, atau dengan jawaban yang bikin mereka ogah buat melanjutkan percakapan. Wkwk
Mari kita cuek dan masabodo aja menanggapinya hahahahha
ReplyDeleteIya nih kalo lebaran tu suka ada pertanyaan2 usil... jadi bikin males. So.. solusinya adalah begitu dateng ke rumah eyang misalnya.. trus salaman dong sama tamu2. Ya aku yang banyak tanya.. apa kabar, sehat... makin cantik aja... ok bye. Sekian. Abis tu ngeloyor. Jadi mereka ga sempet nanya macem2. Yang penting nyapa kan.. menjaga tali silaturahmi. Ada komunikasi haha
ReplyDeleteIf you have no critics you'll likely have no succes ~Malcolm X