Aku nggak nyangka setelah baca buku Childfree & Happy, isu ini santer diperbincangkan di jagad medsos. Jodoh sama aku kali ya biar niatanku nulis soal buku Childfree & Happy terealisasi karena isu itu.
Sebenernya isi postingan ini bukan review dari buku Childfree & Happy, tapi lebih ke what I get from this book. Cuman sebelum membahas itu aku
mau memberikan informasi tentang buku yang ditulis oleh Victoria Tunggono.
Seperti yang aku tuliskan sebelumnya, buku ini berjudul
Childfree & Happy, sebuah buku yang menceritakan pengalaman penulis sebagai
seseorang yang memilih childfree (hidup bebas anak). Bukunya termasuk tipis, jadi enak buat dibawa kemana-mana.
Isinya terdiri dari cerita penulis dan orang-orang yang memutuskan childfree, serta
tantangan yang dihadapi.
Selain itu aku menemukan insight baru seperti childfree dan
childless, ada perbedaan antara 2 hal ini. Aku baru tahu kalau orang
atau pasangan yang ingin memiliki anak tapi belum dikaruniai dikategorikan
childless, sedangkan childfree adalah keadaan sadar penuh untuk tidak punya
anak walaupun kondisi memungkinkan.
Yang bikin aku tertarik untuk membaca buku ini karena
penulisnya orang Indonesia yang you know, sungguh suatu keberanian untuk
menulis buku dengan tema “TABU” buat sebagian besar masyarakat kita.
Sepertinya cukup untuk bagian buku, aku mau ngelanjutin
cerita dari what I get from this book;
Pertama, respect. Memilih untuk childfree di negara kultur
timur tidaklah mudah. Narasi banyak anak banyak rejeki, pasti berkumandang terus
menerus, seperti cuci otak kalau tugas manusia ya cuman berkembang biak. Nggak
kebayang pelik batin ketika menyadari bahwa I don’t want to have a kid muncul
tapi dianggap bertentangan khususnya oleh keluarga.
Kedua, perempuan punya hak atas tubuhnya. Entah ingin punya
anak atau tidak, perempuan punya hak penuh untuk mengambil keputusan itu. Keputusan
atas tubuh perempuan bukan terletak pada orang tuanya, pasangannya, atau masyarakat,
tapi pada dirinya sendiri.
Ketiga, nilai seorang perempuan bukan terletak pada
rahimnya. Sistem membuat perempuan berpikir bahwa ia tidak berharga karena tak
mampu memberikan keturunan. Padahal integritas dan kemampuan perempuanlah yang
bisa dijadikan acuan. Nggak habis pikir saat lingkungan menganggap perempuan
yang tidak punya anak sama dengan tidak sukses.
Keempat, being a mom is not for every woman. Pada akhirnya peran
ibu bukan untuk semua perempuan. Sepertinya stigma bahwa semua perempuan di
dunia ini ingin menjadi ibu salah. Ada berbagai keadaan yang akhirnya membuat
seorang perempuan memutuskan bahwa menjadi seorang ibu bukanlah keinginannya.
Kelima, childfree bukanlah gaya hidup, childfree adalah
pilihan. Ketika seseorang memutuskan untuk hidup bebas anak, ia sudah berpikir
masak-masak konsekuensi dan resiko yang harus dihadapi. Nggak sekedar ngasal
biar kelihatan edgy.
Dari kelima hal yang aku dapat tadi jadi keinget podcast di Inspigo yang lupa judulnya, sorry.. 😅 Jadi di podcast itu ada narasumber yang berbagi cerita tentang perjalanan dan transisi yang dialaminya sebagai perempuan. Transisi dari seorang perempuan lajang, menikah dan menjadi istri, selanjutnya menjadi ibu. Dalam ceritanya aku belajar bahwa transisi yang terjadi tidaklah mudah untuk dijalani, beliau sampai terkena depresi pasca persalinan atau PPD (postpartum depression), dan jujur itu lumayan membuatku berpikir masak-masak perkara anak.
Dan karena podcast itu aku gambrengin pembicaraan perkara anak sama Hyung. Again, perkara punya anak itu nggak gampang, and you know.. anak itu bukan barang yang bisa kita refund apalagi jadi alat penyatu hubungan. Kalau kata podcast Taboo Tuesday, stop making children your tools for therapy.